Hasil UN SMP 2014 Kacau, Mendikbud Harus Bertanggungjawab
Kesalahan
menteri Muhammad Nuh dan jajarannya di Kemendikbud dalam
penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun
2014 ini memvonis siswa yang tidak bersalah dengan nilai yang anjlok.
Seharusnya menteri ini mundur jadi kepala SMP saja, agar mengerti beban
mental dan psikologi siswa SMP yang “dihukum” dengan nilai UN rendah akibat miss-management
dalam penyelenggaraan UN SMP 2014, khususnya hari pertama. Siswa yang
telah mempersiapkan diri 3 tahun untuk nilai yang optimal di atas 9,50
dengan mudah dan enteng divonis kemedikbud di 8,00 melalui
penyelenggaraan UN yang kacau balau. Betul-betul tidak mendidik, dan
merusak tatanan dunia pendidikan di Indonesia. Mana tanggungjawab
Mendikbud?
Hari
ini saya menerima Nilai Hasil Ujian Nasional anak saya dari sebuah SMP
(Sekolah Menengah Pertama) di Bandung. Betapa saya kaget kontras nilai
UN tersebut karena gap
nilai antara satu mata pelajaran dengan pelajaran lainnya sangat jauh.
Saya sudah senang dengan nilai kumulatif UN perolehan anak saya 37,3.
Namun nilai itu disumbang Mata Pelajaran Matematika : 10; IPA : 9,50;
Bahasa Inggris 9,8; dan yang mengagetkan – Bahasa Indonesia 8,00.
Saya jadi teringat sepulang UN hari pertama Senin, 5 Mei 2014, anak saya melaporkan bahwa dalam ujian Bahasa Indonesia :
1. Soal
terdiri dari yang bersampul (nomor 1 s/d 50) menyatu dengan lembar
jawab komputer (LJK), dan soal tak bersampul (dengan nomor tidak lengkap
dari 1 s/d 50). Dobel? Mengapa? Membingungkan!
2. Dalam
kebingungan, para siswa mengerjakan soal pada LJK asli. Tetapi akibat
adanya masalah dengan soal, pengawas ujian memberi instruksi agar
menunggu selama 1 jam tidak mengerjakan apa-apa. Menunggu 1 jam? Penyelenggara UN tidak siap? Kalau tidak siap mengapa harus ada UN? Konsentrasi peserta UN pun buyar.
3. Setelah
menunggu 1 jam ada instruksi pengawas ujian agar soal nomor 1-12 dan
39-50 dikerjakan dari bundel soal tak bersampul (sama untuk seluruh
peserta), dan soal 13-38 dari bundel soal bersampul (berbeda untuk
setiap seri soal). Ini apa-apaan? Apakah ini mendidik dan baik untuk siswa SMP?
4. Dari
20 perserta UN di kelas, ternyata ada 4 orang menemukan soal yang
nomornya diloncat pada bundel soal bersampul. Akibatnya, 4 siswa
termasuk anak saya, kembali kebingungan. Akhirnya pengawas
mennginstruksikan agar menunggu 15 menit, dan setelah itu dibagikan LJK
fotokopi dan soal fotokopi nomor 1-50, serta dan kertas lembar jawab
manual. Jadi ada 3 bundel soal, untuk 1 mata ujian. Wallahualam!
5. Kembali
dinstruksikan agar mengerjakan soal yang baru (fotokopi) dari awal di
LJK fotokopi, dan jawaban juga disalin ke kertas terpisah. Satu mata
pelajaran UN dilakukan berkali-kali dengan soal berbeda-beda di jadwal
ujian yangsama.
6. Baik LJK asli, LJK fotocopy LJ manual semua dikumpulkan pengawas ujian.
Alhasil nilai UN Bahasa Indonesia anak saya 8,00. Padahal anak saya Indonesia asli – bukan bule,
sehari-hari berbahasa Indonesia, namun nilai UN Bahasa Ingrisnya 9,80.
Hal yang sama terjadi kepada teman-temannya dan sejumlah siswa.
Perolehan
nilai Bahasa Indonesia (8,00) yang terlalu kontras dengan Bahasa
Inggris (9,8) itu hasil dari pemeriksaan apa, soal yang mana, kunci
jawaban yang mana, lembar jawab yang mana, oleh apa atau siapa,
bagaimana berita acaranya, bagaimana membuktikannya? Pertanyaan lebih
lengkapnya;
1. Kunci
jawaban soal yang mana; yang bersampul, yang tidak bersampul, atau yang
fotokopi-an yang yang diterapkan memeriksa lembar jawab?
2. Lembar jawab mana yang diperiksa : LJK asli, LJK fotokopi, atau lembar jawab manual?
3. Dengan
apa atau oleh siapa pemeriksaan lembar jawab itu, apakah menggunakan
Opscan, manual, atau sim salabim? Betulkah hasilnya 8,00 artinya dari 50
soal hanya dijawab benar 40 soal dan sisanya 10 soal salah?
Saya
dan anak saya tidak terima bahwa kesalahan menjawab soal UN Bahasa
Indonesia 20% atau 10 soal. Mengapa? (1) Ada barometer Ujian Pra-UN
sebanyak 16 kali si sekolah dan di Bimbel Ganesha Operation sebelum
mengikuti UN, (2) Gap nilai ini terhadap mata pelajaran lain sama sekali
tidak logis.
Saya
menduga, hal ini dapat disebabkan oleh (1) Kesalahan menerapkan kunci
jawaban, (2) kelasahan kunci jawaban bukan untuk soal yang sesuai, (3)
kesalahan dalam pemeriksaan Opscan (padahal yang seharusnya LJK
fotokopi, atau LJ manual). (4) Kesalahan pemeriksa yang tidak detail
atau hanya menduga-duga. Artinya, nilai 8,00 ini saya pastikan bukan
representasi kompetesi anak saya atas Matpel Bahasa Inndonesia. Untuk
ini saya mengajukan protes atau sanggahan dan berharap direhabilitir,
minimal saya mendapat pembuktian bahwa lembar jawab yang diperiksa benar
adanya. Memang ini tidak lazim, namun ini semata-mata karena UN 2014
itu kacau dikacaukan Kemendikbud.
Kekacauan
penyelenggaan UN SMP tahun ini telah mengakibatkan siswa kelas 3 SMP
pada umumnya menerima vonis nilai yang tidak representatif. Kekacauan
atas soal UN Bahasa Indonesia SMP sebagaimana diurai di atas tidak
terlepas dari nama Jokowi yang sempat nyelonong dalam soal yang kemudian
direvisi mendadak dengan cara yang sangat primitif. Namun siswa jangan
kemudian dipersalahkan. Ini sepenuhnya kesalahan Mendikbud Muhammad Nuh
beserta jajajarannya. Ini perlu direhabilitir, perlu kejujuran bahwa nilai
UN Bahasa Indonesia SMP tahun 2014 tidak merepresentasikan kompetensi
siswa tetapi representasi inkompetensi Mendikbud Muhammad Nuh. Ditunggu permohonan maaf Mendikbud dan upaya rehabilitasinya.
Bandung, 20 Juni 2014
Bernard Simamora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar